Sukses

Detik-Detik Lengsernya Soeharto dan Pelantikan Habibie 27 Tahun Lalu

Di balik pelantikannya yang bersejarah, Habibie mengakui dirinya berada dalam kondisi yang sangat berat. Ia mewarisi institusi kepresidenan yang sedang diguncang krisis ekonomi, politik, dan sosial yang kompleks.

Diperbarui 20 Mei 2025, 21:03 WIB Diterbitkan 21 Mei 2025, 07:04 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Menjelang pergantian kekuasaan bersejarah pada 21 Mei 1998, suasana di lingkaran Istana begitu tegang dan penuh ketidakpastian. Di tengah situasi krisis politik dan ekonomi, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie sibuk mempersiapkan materi laporan untuk Presiden Soeharto.

Namun, pada Rabu sore, 20 Mei 1998, sekitar pukul 17.00 WIB, ajudan Habibie, Kolonel (AL) Djuhana, mendatangi ruang kerjanya. Sang ajudan melaporkan bahwa Menko Ekuin saat itu, Ginandjar Kartasasmita, ingin berbicara lewat telepon.

Dalam buku autobiografinya “Detik-Detik yang Menentukan”, Habibie mengenang percakapan penting tersebut. Ginandjar menyampaikan bahwa 13 menteri di bawah koordinasinya memutuskan tidak akan bergabung dalam kabinet reformasi yang tengah disusun Soeharto. Meski begitu, mereka tetap bersedia menyelesaikan tugas di Kabinet Pembangunan VII.

"Apakah Anda sudah menyampaikan ini kepada Presiden?" tanya Habibie.

Ginandjar menjawab bahwa keputusan itu telah dibahas dan ditandatangani bersama usai rapat di Bappenas. Laporan resmi juga telah dikirimkan ke Presiden Soeharto melalui Tutut, putri sulungnya.

Habibie yang baru saja menerima kabar mengejutkan itu lantas meminta ajudannya untuk tak mengganggunya sementara waktu. Namun, ketenangan tak berlangsung lama. Sekitar pukul 17.45 WIB, sang ajudan kembali datang dan menyampaikan bahwa Menteri Keuangan Fuad Bawazier ingin berbicara secara langsung lewat sambungan telepon.

Pertanyaan yang dilontarkan Fuad cukup mengejutkan:

"Apakah benar Pak Habibie akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden?"

Dengan suara tegas, Habibie membantah isu tersebut.

"Itu tidak benar. Presiden sedang menghadapi persoalan besar, tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut!".

 

2 dari 4 halaman

Soeharto dan Isyarat Mundur

Rabu malam yang sunyi di kawasan Cendana, Jakarta Pusat, tiba-tiba menjadi saksi bisu salah satu momen paling krusial dalam sejarah politik Indonesia. Selepas Magrib, Wakil Presiden BJ Habibie meluncur ke kediaman Presiden Soeharto untuk menyelesaikan pembahasan penting: finalisasi nama-nama anggota Kabinet Reformasi.

Pertemuan berlangsung di ruang kerja pribadi Presiden Soeharto. Dalam suasana yang cukup intens, Habibie menyampaikan sejumlah masukan dan keberatan atas beberapa nama yang direncanakan masuk dalam kabinet. Perbedaan pandangan di antara keduanya memunculkan perdebatan yang cukup tajam.

Namun, dengan sikap negarawan, Habibie akhirnya menyerahkan keputusan kepada Soeharto sebagai pemegang hak prerogatif.

"Saya serahkan sepenuhnya kepada Bapak Presiden untuk memutuskan," ujar Habibie kala itu.

Tak lama setelah perdebatan berakhir, Soeharto memanggil Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid. Ia diperintahkan untuk segera menyiapkan Keputusan Presiden terkait susunan Kabinet Reformasi. Rencananya, kabinet tersebut akan diumumkan keesokan harinya, Kamis, 21 Mei 1998 di Istana Merdeka.

Pelantikan anggota kabinet dijadwalkan berlangsung pada Jumat, 22 Mei 1998, dengan Soeharto dan Habibie sebagai pasangan pemimpin tertinggi bangsa.

Isyarat Mundur dari Soeharto

Setelah memberikan instruksi kepada Saadilah, suasana kembali mencair. Soeharto dan Habibie duduk santai sambil menikmati secangkir teh. Dalam momen yang terlihat tenang itulah, Soeharto menyampaikan sesuatu yang mengejutkan.

"Saya berencana mengundang pimpinan DPR/MPR ke Istana pada Sabtu, 23 Mei," ujar Soeharto.

Habibie menyambut kabar tersebut dengan antusias. Ia menilai pertemuan dengan para pimpinan lembaga legislatif sangat penting untuk menyerap aspirasi rakyat dan merespons perkembangan politik yang begitu cepat saat itu.

Namun, respons Soeharto justru meluncur ke arah yang tak terduga.

"Saya akan mengundurkan diri sebagai Presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik. Hal itu akan saya sampaikan langsung kepada Pimpinan DPR/MPR," ucap Soeharto.

Habibie terdiam. Keputusan itu begitu tiba-tiba. Ia berharap ada penjelasan lebih lanjut dari Soeharto, namun penjelasan tak kunjung datang. Akhirnya, dengan hati-hati, Habibie mengajukan satu pertanyaan penting.

"Pak Harto, kalau begitu, bagaimana dengan kedudukan saya sebagai Wakil Presiden?"

Jawaban Soeharto pun tak kalah mengejutkan:

"Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie yang akan melanjutkan tugas sebagai Presiden".

Kata-kata itu menghentak batin Habibie. Ia langsung berpikir tentang potensi kevakuman kekuasaan yang bisa saja melanggar konstitusi jika transisi tidak dilakukan sesuai UUD 1945 dan Ketetapan MPR.

Dengan perasaan campur aduk, Habibie akhirnya berpamitan. Ia bersalaman dan berpelukan dengan Soeharto, lalu meninggalkan ruang kerja presiden dengan pikiran penuh tanda tanya.

 

3 dari 4 halaman

Malam Menegangkan Sebelum Soeharto Mundur

Dalam perjalanan menuju rumah dinasnya di Kuningan, Jakarta Selatan, Habibie tak henti memanjatkan doa agar Presiden Soeharto diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi situasi kritis yang menekan dari berbagai arah. Di tengah perjalanan, Habibie memerintahkan ajudannya, Kolonel (AL) Djuhana, untuk segera menghubungi empat Menteri Koordinator (Menko) dan semua menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin.

Ia meminta mereka hadir dalam Sidang Ad Hoc Kabinet Terbatas di kediamannya pada pukul 22.00 WIB.

Setibanya di kediaman resmi, Habibie disambut asistennya saat itu, Jimly Asshiddiqie. Habibie segera menuju kamar untuk bersiap menghadapi pertemuan penting. Sekitar pukul 21.45 WIB, sang istri, Hasri Ainun Habibie, masuk ke kamar dan memberitahu bahwa seluruh undangan telah hadir di pendopo.

“Ada apa?” tanya Ainun.

“Saya panggil mereka,” jawab Habibie singkat.

Dalam pertemuan itu, Habibie menyampaikan bahwa Presiden Soeharto telah membentuk Kabinet Reformasi berdasarkan masukan dari Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar. Dalam suasana yang serius, Habibie meminta para Menko dan menteri mempertimbangkan kembali keputusan mereka untuk mundur dari kabinet.

Usai pertemuan, Habibie berinisiatif untuk langsung melaporkan hasil diskusi kepada Presiden Soeharto. Namun, langkah itu tidak berjalan mulus. Ajudan Presiden menyampaikan bahwa Soeharto tidak bersedia berbicara langsung dengan Habibie malam itu. Sebaliknya, pesan penting disampaikan melalui Menteri Sekretaris Negara, Saadilah Mursyid.

“Besok pukul 10.00 pagi, Presiden Soeharto akan menyampaikan pengunduran dirinya dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden RI sesuai dengan UUD 1945,” ujar Saadilah, seperti dikisahkan Habibie dalam buku Detik-Detik yang Menentukan.

Habibie mengaku terkejut. Ia sempat meminta pertemuan empat mata dengan Soeharto sebelum pengumuman resmi dilakukan. Namun permintaan tersebut belum bisa dikabulkan malam itu.

Setelah menerima kabar mengejutkan itu, Habibie kembali ke pendopo untuk menyampaikan keputusan Presiden kepada para menteri dan staf yang hadir. Semua terdiam. Suasana haru dan tegang menyelimuti ruangan.

“Saya minta semua yang hadir, termasuk para asisten wakil presiden, untuk berdoa bersama memohon pertolongan Allah SWT,” kenang Habibie.

Jimly Asshiddiqie kemudian diminta memimpin doa malam itu. 

Gerakan demonstrasi para mahasiswa bersama rakyat terus meningkat. Ini mengakibatkan keadaan Indonesia menjadi makin tidak menentu. Hal itu memengaruhi jatuhnya nilai rupiah secara cepat dan larinya modal ke luar negeri.

Sekitar pukul 06.45, ajudan Iwan Sidi masuk ke ruangan dan melaporkan bahwa Pangab Jenderal Wiranto siap menunggu di ruang tamu. Dia meminta agar mempersilakan Wiranto menuju pendopo. Di tempat ini, Jenderal Wiranto melaporkan keadaan di lapangan yang tidak menentu dan gerakan demo yang terus meningkat.

"Saya membaca dan menafsirkan keadaan demikian, sebagai tuntutan rakyat untuk memperoleh kebebasan total," ucap Habibie.

Atas kondisi ini, Habibie memberikan arahan kepada Wiranto agar memberikan kebebasan kepada rakyat untuk berdemo secara tertib. Setelah mendapat instruksi, Wiranto pun mengaku telah telah menerima inpres yang ditandatangani Presiden Soeharto agar bertindak demi keamanan dan stabilitas negara jika suasana tak terkendali.

Wiranto menanyakan apa yang harus diperbuat dengan inpres ini? "Simpanlah Inpres tersebut, mungkin Jenderal akan butuhkan," jawab Habibie.

Habibie lantas menugaskan Pangab untuk langsung ke Istana Merdeka seraya ia mempersiapkan diri pergi ke kediaman Soeharto, dengan harapan mendapatkan penjelasan dan jawaban mengenai semua hal. Namun, asa itu jauh dari kenyataan. Soeharto belum bersedia menerimanya dan mempersilakan langsung menuju Istana Merdeka.

Sekitar pukul 08.30 WIB, Habibie berangkat ke Istana Merdeka untuk menghadiri acara pernyataan pengunduran diri Presiden Republik Indonesia yang dilanjutkan dengan Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Wakil Presiden Republik Indonesia sebagai Presiden oleh Ketua Mahkamah Agung yang disaksikan para anggota Mahkamah Agung lainnya.

"Ketika saya sampai di Istana Merdeka, ternyata belum ada orang yang hadir dan saya dipersilakan duduk di kamar tamu yang berhadapan dengan ruangan yang dikenal sebagai Ruangan Jepara. Saya duduk, sambil membaca laporan-laporan multikrisis yang masuk," cerita Habibie.

Beberapa saat kemudian, Ketua Mahkamah Agung Sarwata SH dan para Hakim Agung datang menyertainya. Kepada Ketua Mahkamah Agung, Habibie bertanya apakah alasan dan cara pengambilan sumpah sah berdasarkan UUD dan Ketetapan MPR. Pertanyaan itu dijawab sah oleh Ketua Mahkamah Agung.

Setelah melalui beberapa proses, tiba-tiba Protokol dan ajudan Presiden mempersilakan Ketua MA dan Hakim Agung masuk ke Ruang Jepara. Habibie langsung berdiri dan menyampaikan bahwa dirinya dijanjikan bisa bertemu Presiden Soeharto. Namun, keinginan itu kembali tak kesampaian.

Ajudan Presiden hanya mempersilakan Ketua bersama Hakim Agung masuk Ruang Jepara di mana Soeharto berada. "Saya merasakan diperlakukan 'tidak wajar' dan menahan diri untuk tetap sabar dan tenang. Saya membaca beberapa ayat Alquran yang saya hafal," cerita Habibie.

Setelah beberapa waktu berlalu, Ketua dan anggota Mahkamah Agung keluar dari Ruang Jepara. Kemudian, ajudan dan protokol mempersilakan pimpinan DPR/MPR memasuki ruangan itu untuk bertemu Soeharto.

"Perasaan saya makin penuh dengan kekecewaan, ketidakadilan, dan 'penghinaan', sehingga kemudian saya memberanikan diri berdiri dan melangkah ke Ruang Jepara ingin bertemu langsung Presiden Soeharto," kenang Habibie.

Namun, baru saja berada di depan pintu Ruang Jepara, tiba-tiba pintu terbuka dan protokol mengumumkan bahwa Presiden RI memasuki ruang upacara. Ia pun tercengang melihat Presiden Soeharto melewatinya, melangkah ke ruang upacara dan 'melecehkan' keberadaannya di depan semua yang hadir.

"Betapa sedih dan perih perasaan saya ketika itu. Saya melangkah ke ruang upacara mendampingi Presiden Soeharto, manusia yang saya sangat hormati, cintai, dan kagumi yang ternyata menganggap saya seperti tidak ada," cerita dia.

"Saya melangkah sambil memanjatkan doa dan memohon agar Allah SWT memberi kekuatan, kesabaran, dan petunjuk untuk mengambil jalan yang benar," doa Habibie.

4 dari 4 halaman

Pengunduran Diri Soeharto dan Pelantikan Habibie

Dalam ruang upacara di Istana Merdeka yang dipenuhi para wartawan dalam dan luar negeri, suasana terasa hening dan penuh ketegangan. Semua mata tertuju pada dua tokoh penting yang berdiri di depan: Soeharto dan Habibie.

BJ Habibie dipersilakan berdiri di tempat yang telah ditandai sebelumnya. Beberapa langkah di hadapannya, Soeharto berdiri tegap dan mulai membacakan naskah pengunduran dirinya.

"Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memerhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak dibacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998," ucap Soeharto tegas.

Sesaat setelah Soeharto menuntaskan pernyataannya, protokol istana menyerahkan sebuah map kepada BJ Habibie. Di dalamnya terdapat teks sumpah jabatan Presiden Republik Indonesia, yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Tanpa banyak kata, Habibie pun mengucapkan sumpah dengan suara lantang dan penuh keyakinan:

"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden RI dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."

Upacara berlangsung dengan singkat dan khidmat. Tanpa satu pun senyuman atau pernyataan tambahan, Soeharto menyampaikan salam kepada para hadirin, termasuk kepada Habibie, lalu berbalik badan meninggalkan ruang upacara.

Era Reformasi Resmi Dimulai

Seiring mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan yang telah didudukinya selama 32 tahun, Indonesia resmi memasuki era baru: Era Reformasi. BJ Habibie pun secara sah menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia.

Namun, di balik pelantikannya yang bersejarah, Habibie mengakui dirinya berada dalam kondisi yang sangat berat. Ia mewarisi institusi kepresidenan yang sedang diguncang krisis ekonomi, politik, dan sosial yang kompleks.

“Inilah yang menyebabkan saya menjadi manusia yang paling kesepian dan paling sendirian di dalam suatu lingkungan yang serba sibuk menghadapi multikompleks,” ungkap Habibie dalam catatannya.

EnamPlus
OSZAR »