Sukses

Saham Properti Lesu Meski BI Rate Turun, Kenapa?

Transisi penurunan suku bunga BI ke sektor riil, khususnya bunga KPR, masih berjalan lambat karena kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit. Lalu saham properti apa saja yang layak untuk dikoleksi? Simak bocorannya dalam tulisan ini.

Diperbarui 27 Mei 2025, 10:35 WIB Diterbitkan 27 Mei 2025, 10:35 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Saham sektor properti di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami tekanan berat sepanjang satu tahun terakhir. Hal ini terjadi bahkan ketika Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% pada Mei 2025.

Seharusnya, di saat bank sentral memangkas BI Rate bisa menjadi stimulus positif bagi sektor properti yang sensitif terhadap suku bunga. Namun, saham-saham properti nyatanya tidak merespons positif terhadap pelonggaran moneter tersebut.

Pengamat Pasar Modal dan Founder Stocknow.id Hendra Wardhana menjelaskan, penyebab belum perkasanya saham properti karena multifaktor. Daya beli masyarakat kelas menengah masih belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, ditambah tekanan inflasi dan tingginya biaya hidup yang membuat pembelian besar seperti properti menjadi kurang menarik.

Selain itu, transisi penurunan suku bunga BI ke sektor riil, khususnya bunga KPR, masih berjalan lambat karena kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit. Ditambah lagi, ketiadaan stimulus fiskal baru sejak insentif PPN DTP berakhir menyebabkan minimnya katalis positif bagi sektor ini.

“Tak hanya itu, kekhawatiran akan oversupply hunian vertikal dan ruang komersial di kawasan Jabodetabek juga membebani prospek pertumbuhan pendapatan berulang (recurring income) pengembang,” kata Hendra, Selasa (27/5/2025).

 

2 dari 4 halaman

Fundamental Emiten Besar Tetap Solid di Tengah Tekanan

Meskipun sektor properti secara keseluruhan melemah, sejumlah emiten besar justru masih mencatatkan kinerja stabil. Ciputra Development (CTRA), Summarecon Agung (SMRA), dan Puradelta Lestari (DMAS) termasuk di antaranya.

CTRA berhasil menjaga pertumbuhan marketing sales melalui proyek di kota seperti CitraLand dan CitraRaya yang tersebar secara nasional.

SMRA juga menunjukkan ketahanan yang kuat melalui township di Serpong dan Bekasi yang menjadi kontributor utama pendapatan dan laba bersih perusahaan.

Di sisi lain, DMAS mendapatkan keunggulan dari fokus penjualan lahan industri, yang memiliki margin tinggi. Keikutsertaannya dalam pengembangan kawasan industri GIIC memberikan eksposur pada sektor data center dan otomotif yang tengah bertumbuh.

Kondisi ini menandakan bahwa tidak semua saham properti mengalami koreksi karena faktor fundamental. Beberapa justru tetap menunjukkan kekuatan. Hal ini menjadi pertimbangan penting bagi investor dalam melakukan seleksi saham.

“SMRA juga menunjukkan daya tahan kuat, terutama lewat township Serpong dan Bekasi yang menyumbang kontribusi besar terhadap pendapatan dan laba bersih,” ulas Hendra.

 

3 dari 4 halaman

Valuasi Diskon Buka Peluang Investasi

Dari sisi valuasi, saham CTRA, SMRA, dan DMAS saat ini diperdagangkan pada level yang sangat atraktif. Berdasarkan data annualized 2025, PER CTRA berada di 6,9x, SMRA di 7,2x, dan DMAS hanya 4,8x—angka ini jauh di bawah rata-rata industri sebesar 15,8x. Ini mencerminkan bahwa pasar belum sepenuhnya mengapresiasi fundamental kuat yang dimiliki ketiganya.

Selain itu, dari rasio Price to Book Value (PBV) per kuartal I 2025, saham-saham ini juga tergolong undervalued. CTRA tercatat di 0,81x, SMRA di 0,61x, dan DMAS di 0,91x—masih di bawah rata-rata industri yang sebesar 0,94x. Secara keseluruhan, mereka masih mencetak laba, arus kas sehat, dan memiliki cadangan lahan strategis.

Sebagai perbandingan, saham Pakuwon Jati (PWON) yang memiliki pendapatan berulang dari segmen mal dan hotel sudah diperdagangkan di PER 16x dan PBV 0,92x. Dengan demikian, ruang kenaikan untuk PWON lebih terbatas dibanding CTRA dan SMRA yang valuasinya jauh lebih rendah namun tetap didukung oleh fundamental yang solid.

“Bahkan bila dibandingkan dengan saham properti lain seperti Pakuwon Jati (PWON) yang sudah diperdagangkan pada PER 16x dan PBV 0,92x, valuasi CTRA dan SMRA terlihat jauh lebih menarik,” beber Hendra.

 

4 dari 4 halaman

Strategi Investasi: Mana yang Layak Dibeli, Ditahan, atau Dihindari

Prospek sektor properti masih terbuka untuk rebound, asalkan beberapa prasyarat terpenuhi. Pertama, penurunan suku bunga BI harus bisa lebih cepat diterjemahkan menjadi bunga KPR yang lebih rendah. Kedua, jika pemerintahan Prabowo mengeluarkan kebijakan pro-perumahan seperti insentif rumah pertama atau tax holiday untuk pengembang kawasan industri, ini bisa menjadi pemicu utama.

Ketiga, sentimen pasar terhadap sektor pro-siklus seperti properti akan membaik jika kondisi ekonomi stabil dan konsumsi domestik menguat. Dalam konteks ini, SMRA dinilai menarik untuk diakumulasi bertahap pada level 404 dengan target harga 515. CTRA direkomendasikan sebagai speculative buy dengan target 1.120. DMAS pun dinilai sangat undervalued dan menjadi pilihan spekulatif menarik dengan target 185.

Sebaliknya, PWON sebaiknya hanya di-hold karena valuasinya yang sudah premium. Untuk ASRI dan APLN, investor perlu ekstra hati-hati. Keduanya menghadapi tantangan besar dari sisi leverage tinggi, proyek yang stagnan, dan belum ada kejelasan strategi pemulihan jangka pendek.

“ASRI mungkin bisa menjadi spekulatif buy di bawah 90 jika ada perkembangan positif dari sisi manajemen atau restrukturisasi, sedangkan APLN saat ini lebih baik dihindari,” kata Hendra.

OSZAR »