Sukses

Banyak Sarjana jadi Pengangguran, Salah Siapa?

Tingkat pengangguran di kalangan lulusan pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi sorotan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka bagi lulusan universitas mencapai 5,25 persen.

Diperbarui 27 Mei 2025, 18:00 WIB Diterbitkan 27 Mei 2025, 18:00 WIB

Liputan6.com, Jakarta Tingkat pengangguran di kalangan lulusan pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi sorotan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka bagi lulusan universitas mencapai 5,25 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding lulusan diploma I/II/III yang mencatatkan angka 4,83 persen.

Selain itu, tingkat setengah pengangguran umum tercatat sebesar 5,03 persen, dengan lulusan diploma berkontribusi sebesar 4,01 persen.

Pengamat Ketenagakerjaan, Timboel Siregar, mengatakan fenomena ini mengindikasikan masih adanya ketimpangan antara output pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia kerja. Lulusan perguruan tinggi dinilai belum sepenuhnya siap memasuki pasar kerja karena keterbatasan keterampilan praktis serta kurangnya sertifikasi yang relevan dengan industri.

Pendidikan tinggi disebut perlu bertransformasi untuk merespon kebutuhan dunia usaha dan industri yang terus berubah. Fokus pembelajaran yang selama ini hanya menekankan aspek pengetahuan atau teori dianggap kurang cukup. Institusi pendidikan tinggi diharapkan mampu mengintegrasikan pengembangan keterampilan (skill) dan sertifikasi profesional dalam proses pembelajarannya.

"Menurut saya memang tentunya pendidikan tinggi ini harus juga bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan dunia usaha, dunia industri. Karena orientasinya kan memang lulusan perguruan tinggi kan mau bekerja gitu ya. Yang memang ada juga yang memang mau menjadi akademisi mengajar ya," kata Timboel kepada Liputan6.com, Selasa (27/5/2025).

Menurutnya, selain ijazah, lulusan juga diharapkan memiliki nilai tambah berupa kemampuan bahasa asing dan keterampilan teknis lain yang dibutuhkan industri, seperti kemampuan di bidang teknologi, kecerdasan buatan, dan penguasaan perangkat lunak.

Misalnya, lulusan ilmu komunikasi tidak hanya harus memahami teori komunikasi, tetapi juga memiliki kemampuan multibahasa serta keterampilan teknologi penunjang komunikasi modern.

"Gelar akademik penting, iya. Cuma tidak boleh menjadi variable tunggal. Dia harus disertai dengan sertifikasi. Dia harus disertai dengan keterampilan apa. Misalnya di komunikasi, ilmu komunikasi. Dia harus bisa paling tidak berapa bahasa," ujarnya.

 

2 dari 3 halaman

Struktur Kurikulum Kuliah Umum Perlu Diperbaharui

Sejalan dengan hal itu, menurut Timboel struktur kurikulum juga dianggap perlu diperbaharui. Mata kuliah umum seperti Pancasila dan agama dinilai dapat dikurangi porsinya untuk memberi ruang lebih pada pembelajaran keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

Penguasaan teknologi informasi, perangkat lunak, dan literasi digital disarankan menjadi bagian dari kurikulum dasar di berbagai jurusan.Investasi, baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri maupun asing, memang menjadi kunci pembukaan lapangan kerja.

Namun, saat ini tren investasi cenderung padat modal dan teknologi, yang hanya menciptakan sedikit pekerjaan. Hal ini menuntut dunia pendidikan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam sektor berbasis teknologi tersebut.

"Dan tentunya ini yang jangan sampai sekolah atau perguruan tinggi memproduksi pengangguran. Jadi kembali harus ada kombinasi antara studi skill dengan knowledge, pengetahuan. Pengetahuan itu kan diwakili oleh ijasa, skill itu diwakili oleh sertifikat," ujarnya.

 

3 dari 3 halaman

Hal yang Harus Dilakukan Pemerintah

Untuk jangka pendek, pemerintah didorong menyediakan pelatihan keterampilan bagi lulusan yang belum siap kerja. Selain itu, perguruan tinggi juga disarankan menjalin kerja sama aktif dengan industri melalui job fair dan kemitraan strategis untuk menyelaraskan kurikulum dengan kebutuhan nyata pasar kerja.

Perguruan tinggi pun dituntut untuk proaktif menjajaki kebutuhan industri agar dapat menyiapkan lulusan yang sesuai. Jika tidak segera dibenahi, sistem pendidikan yang tidak adaptif dikhawatirkan akan terus memproduksi pengangguran terdidik.

Padahal, sinergi antara dunia pendidikan dan dunia kerja menjadi kunci penting dalam membangun ketenagakerjaan yang berkualitas dan kompetitif.

"Kita pastikan apa yang diajarkan di perguruan tinggi itu juga tidak match dengankebutuhan dunia usaha, dunia industri.Sehingga terjadi pengangguran lulusan perguruan tinggi. Nah ini kan yang akhirnya menjadi sebuah perangkap struktural yang akhirnya kelompok masyarakat terdidik kita initidak tersalurkan ke dunia usaha," pungkasnya.

OSZAR »