Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengusulkan pemangkasan regulasi untuk ekspor furnitur dari Indonesia. Salah satunya memangkas kewajiban legalitas furnitur dan kerajinan.
Legalitas itu merujuk pada Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) atau V-legal yang diterbitkan Kementerian Kehutanan. Saat ini, eksportir furnitur wajib menyertakan asesmen SVLK terhadap produknya.
Baca Juga
"Deregulasi ekspor kita kemarin sudah diskusi dengan teman-teman asosiasi kemudian juga dengan Kementerian Kehutanan. Kita sih pengennya sebenarnya kalau produk turunan dari kayu seperti furnitur dan kerajinan itu gak perlu v-legal," ungkap Budi dalam Peluncuran IFEx 2026, di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Advertisement
Dia mengatakan, dokumen V-legal bisa tetap diberlakukan bagi negara-negara yang mewajibkannya. Yakni, Uni Eropa dan Inggris. Sementara itu, dokumen V-legal untuk ekspor furnitur ke negara lain tak perlu diwajibkan.
"Supaya ekspor di luar UK (Inggris) dan Uni Eropa itu sifatnya tidak wajib. Kecuali memang, ya voluntary, kecuali memang eksportirnya menginginkan ya silahkan," kata dia.
"Tetapi khusus produk furnitur dan kerajinan. Kalau produk kayu, ya balok kayu dan sebagainya, ya kami sepakat tetap dengan SVLK," kata Budi.
Â
Bisa Dipastikan Legal
Budi menuturkan, pembuat furnitur sebetulnya tidak perlu mengurus dokumen V-legal tadi. Pasalnya, sudah bisa dipastikan sumber bahan bakunya didapat dari kayu yang telah memiliki dokumen resmi.
Dengan demikian, tidak perlu lagi dokumen serupa untuk ditunjukkan oleh pelaku usaha di sektor hilir.
"Kalau teman-teman UMKM misalnya. Kalau membuat furniture, membuat kerajinan pasti kan ngambil kayunya ke hulu yang sudah punya SVLK. Eksportir ngambil kayu kan pasti kayunya legal, ke hulu yang mempunyai SVLK. Ya itu kan sebenarnya pengawasannya bisa dilakukan," tutur Budi.
Â
Advertisement
Perlu Biaya
Dia mengatakan, wajibnya dokumen V-legal itu turut membebani keuangan pelaku usaha atau UMKM furnitur. Kemudian, ada waktu yang dibutuhkan untuk mengurus dokumen tersebut.
"Karena itu kan juga perlu biaya, perlu biaya, perlu waktu, perlu ya banyak hal lah. Yang itu kadang-kadang daya saing kita menjadi tidak bagus," kata dia.
"Kenapa sebaiknya itu tidak diberlakukan untuk negara yang tidak membutuhkan atau sifatnya voluntary. Misalnya kalau eksportirnya mau ya silahkan. Misalnya ke ekspor non-negara yang membutuhkan. Kalau dia memang mau karena pingin. Ini loh kayu saya memang benar-benar bagus dan sebagainya. Hanya ingin menunjukkan ya silahkan. Tapi menurut saya tidak harus wajib," tandas Budi.